Afrizal
Afrizal
  • Mar 9, 2022
  • 6623

Di Hari Perempuan Internasional, Indira Bicara Soal Kesetaraan, Kekerasan Seksual, Hingga Pelanggaran HAM

PADANG, - Sejarah mencatat kedudukan kaum perempuan selalu berada di bawah. Perempuan juga dipandang sebelah mata, tertindas dengan berbagai paradigma bahkan disebut pembawa sial, menyusahkan, dan lain sebagainya.

Namun saat ini, perempuan harusnya bisa dan berhak memilih. Terkait mimpinya, pekerjaannya, atau pilihan yang lain. Perempuan memiliki kesetaraan yang sama dengan kaum adam untuk memilih bekerja baik domestik maupun publik.

"Bukan berarti perempuan yang bekerja di ruang publik lebih mulia dari yang fokus bekerja di domestik, atau pun sebaliknya. Bicara kesetaraan itu bagaimana perempuan bisa mewujudkan mimpi bekerja di ruang sosial ataupun domestik dihargai oleh siapapun, " ungkap Direktur LBH Padang Indira Suryani kepada wartawan, Selasa (8/3/2022).

Dia mengatakan perempuan yang bekerja baik di rumah atau di luar sama-sama hebat. "Saya sendiri memilih pekerjaan sekarang karena sejak kuliah suka dengan kegiatan relawan sosial. Senang bersama dengan orang-orang yang mengabdi untuk sosial dan itu membuat saya bahagia dan nyaman, " ujarnya.

Setiap perempuan berhak menjadi apa yang diinginkan sesuai haknya. Perempuan berhak bermimpi dan meniti mimpinya.

"Jangan mengubur mimpi setelah menikah. Kalau sudah menikah, suami adalah teman hidup untuk mencapai cita-cita yang kita inginkan. Memang ada kodrat yang kita jalankan maka suami, negara, dan pemerintah wajib melakukan tindakan afirmasi dan perlindungan, " jelasnya.

Ia mengimbau kepada seluruh perempuan di mana pun berada jangan takut dengan kodrat hamil, melahirkan, dan menyusui. Kodrat tersebut tidak akan menghalangi seseorang meraih mimpinya.

"Jangan patah semangat berhadapan dengan kodrat, " imbuhnya.

Sebagai perempuan pembela HAM dirinya tentu dihadapkan dengan berbagai ancaman. Namun menurutnya itu adalah resiko yang harus dihadapi. Mulai dari kriminalisasi dan intimidasi.

"Kami harus berjuang bersama masyarakat menguatkan diri dan belajar serta menangkis serangan yang dilakukan. Pembela HAM juga penting adanya mitigasi keamanan apalagi saat oligarki makin kuat di Indonesia." imbuhnya.

Terkait dirinya yang terjun menjadi pengacara rakyat, Indira mengaku bahwa keluarga merasa khawatir, terutama orang tua. Namun karena niat yang baik kita hanya meminta doa dan reda orang tua akan selalu melindungi anaknya.

"Mungkin ada yang tidak setuju dengan keputusan saya ini, tapi tidak masalah bagi saya sebab ini membahagiakan, apalagi saya bertemu rakyat dan mendukung perjuangkan hak mereka, mereka percaya ke LBH, " ujarnya.

Indira mengatakan saat pandemi banyak konflik di akar rumput menguat. Hal itu juga membuat banyak perempuan, ibu petani karena haknya tidak pulih, potensi kriminalisasi terjadi.

"Saat ini banyak perempuan memulihkan haknya karena negara selalu absen untuk hak rakyat, jadi mereka melawan perusahaan memperjuangkan tanah miliknya, " ujarnya.

Berharap pemerintah hadir agar tidak terus terjadi perebutan ruang hidup dan akhirnya perempuan terpaksa ikut prostitusi.

"Saya menyerukan ke pemerintah berhentilah melakukan pelanggaran HAM. Ketika mereka tergusur, tanah diambil, masa depan hancur, jadi memilih jalur prostitusi untuk bertahan hidup, " ujarnya.

Indira menyebutkan di balik investasi di perkebunan sawit misalnya, ada kebanggaan dan kemewahan bagi pemerintah karena menghasilkan pemasukan. Namun dinamika yang baru hadir, masyarakat tergusur, tidak ada pekerjaan, mereka miskin dan hal tersebut membuat mereka terjebak masalah prostitusi dan sebagainya.

Bahkan penyebab terjadi Inses salah satu faktornya adalah kemiskinan. Kamar hanya ada satu untuk semua. Jadi ada effort kemiskinan pada kekerasan seksual.

Menurutnya, pemerintah sudah punya upaya, tapi masih kurang. Pradigma pemerintah ketika menangani korban perempuan tak memikirkan kerentanan.

Program berkelanjutan tidak dilakukan dengan serius. Ini yang harus dilihat oleh pemerintah dan membuat program berdasarkan data.

"Di mana KDRT tertinggi, bisa didampingi dan melakukan pencegahan. Mereka tak spesifik dengan data. Ini yang paling penting program berbasis data hingga capaian terwujud, " ujarnya.

Pekerja Seks Komersial (PSK) misalnya, harus ada alternatif mata pencaharian yang lain yang berkelanjutan. "Program selama ini tak begitu efektif mungkin saja programnya hanya itu dan penerima manfaat juga itu-itu saja. Kalau pemerintah tak ingin angka kekerasan tinggi jangan lakukan pelanggaran HAM, " pungkasnya.(**) 

Penulis :
Bagikan :

Berita terkait

MENU